Home » » Sekolah dan Kewirausahaan

Sekolah dan Kewirausahaan

Written By Gema Private Solution on Wednesday, September 17, 2014 | 12:13 AM


A.  Konsep Kewirausahaan
Sampai saat ini konsep kewirausahaan masih terus berkembang. Kewirausahan adalah suatu sikap, jiwa dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang sangat bernilai dan berguna bagi dirinya dan orang lain. Kewirausahaan merupakan sikap mental dan jiwa yang selalu aktif atau kreatif berdaya, bercipta, berkarya dan bersahaja dan berusaha dalam rangka meningkatkan pendapatan dalam kegiatan usahanya.
Seseorang yang memiliki karakter wirausaha selalu tidak puas dengan apa yang telah dicapainya. Wirausaha adalah orang yang terampil memanfaatkan peluang dalam mengembangkan usahanya dengan tujuan untuk meningkatkan kehidupannya. Norman M. Scarborough dan Thomas W. Zimmerer (1993:5), “An entrepreneur is one who creates a new business in the face of risk and uncertainty for the purpose of achieving profit and growth by identifying opportunities and asembling the necessary resources to capitalze on those opportunities”. Wirausahawan adalah orang-orang yang memiliki kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis; mengumpulkan sumber daya-sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat, mengambil keuntungan serta memiliki sifat, watak dan kemauan untuk mewujudkan gagasan inovatif kedalam dunia nyata secara kreatif dalam rangka meraih sukses/meningkatkan pendapatan. Intinya, seorang wirausaha adalah orang-orang yang memiliki karakter wirausaha dan mengaplikasikan hakikat kewirausahaan dalam hidupnya. Dengan kata lain, wirausaha adalah orang-orang yang memiliki jiwa kreativitas dan inovatif yang tinggi dalam hidupnya.
Dari beberapa konsep di atas menunjukkan seolah-olah kewirausahaan identik dengan  kemampuan para wirausaha dalam dunia usaha (business). Padahal, dalam kenyataannya, kewirausahaan tidak selalu  identik dengan karakter wirausaha semata, karena karakter wirausaha kemungkinan juga dimiliki oleh seorang yang bukan wirausaha. Wirausaha mencakup semua aspek pekerjaan, baik karyawan swasta maupun pemerintahan (Soeparman Soemahamidjaja, 1980). Wirausaha adalah mereka yang melakukan upaya-upaya kreatif dan inovatif dengan jalan mengembangkan ide, dan meramu sumber daya untuk menemukan peluang (opportunity) dan perbaikan (preparation) hidup (Prawirokusumo, 1997).
Kewirausahaan (entrepreneurship) muncul apabila seseorang individu berani mengembangkan usaha-usaha dan ide-ide barunya. Proses kewirausahaan meliputi semua fungsi, aktivitas dan tindakan yang berhubungan dengan perolehan peluang dan penciptaan organisasi usaha (Suryana, 2001). Esensi dari kewirausahaan adalah menciptakan nilai tambah di pasar melalui proses pengkombinasian sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda agar dapat bersaing. Menurut Zimmerer (1996:51), nilai tambah tersebut dapat diciptakan melalui cara-cara sebagai berikut:
Pengembangan teknologi baru (developing new technology),
Penemuan pengetahuan baru (discovering new knowledge),
Perbaikan produk (barang dan jasa) yang sudah ada (improving existing products or services),
Penemuan cara-cara yang berbeda untuk menghasilkan barang dan jasa yang lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit (finding different ways of providing more goods and services with fewer resources).
Walaupun di antara para ahli ada yang lebih menekankan kewirausahaan pada peran pengusaha kecil, namun sebenarnya karakter  wirausaha juga dimiliki oleh orang-orang  yang berprofesi di luar wirausaha. Karakter kewirausahaan ada pada setiap orang yang menyukai perubahan,   pembaharuan, kemajuan dan tantangan, apapun profesinya.
Dengan demikian, ada enam hakikat pentingnya kewirausahaan, yaitu:
Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan sumber daya, tenaga penggerak, tujuan, siasat, kiat, proses dan hasil bisnis (Ahmad Sanusi, 1994)
Kewirausahaan adalah suatu nilai yang dibutuhkan untuk memulai sebuah usaha dan mengembangkan usaha (Soeharto Prawiro, 1997)
Kewirausahaan adalah suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru (kreatif) dan berbeda (inovatif) yang bermanfaat dalam memberikan nilai lebih.
Kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (Drucker, 1959)
Kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreatifitas dan keinovasian dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan usaha (Zimmerer, 1996)
Kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan mengkombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda untuk memenangkan persaingan.
Berdasarkan keenam pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan adalah  nilai-nilai yang membentuk karakter dan perilaku seseorang yang selalu kreatif berdaya, bercipta, berkarya dan bersahaja dan berusaha dalam rangka meningkatkan pendapatan dalam kegiatan usahanya. Meredith dalam Suprojo Pusposutardjo(1999), memberikan  ciri-ciri seseorang yang memiliki karakter wirausaha sebagai orang yang (1) percaya  diri, (2) berorientasi tugas dan hasil, (3) berani mengambil risiko, (4) berjiwa kepemimpinan, (5) berorientasi ke depan, dan (6)  keorisinalan.
Jadi, untuk menjadi wirausaha yang berhasil, persyaratan utama yang harus dimiliki adalah memiliki jiwa dan watak kewirausahaan. Jiwa dan watak kewirausahaan tersebut dipengaruhi oleh keterampilan, kemampuan, atau kompetensi. Kompetensi itu sendiri ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman usaha. Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa seseorang wirausaha adalah seseorang yang memiliki jiwa dan kemampuan tertentu dalam berkreasi dan berinovasi. Ia adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create the new and different) atau kemampuan kreatif dan inovatif. Kemampuan kreatif dan inovatif tersebut secara riil tercermin dalam kemampuan dan kemauan untuk memulai usaha (start up), kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang baru (creative), kemauan dan kemampuan untuk mencari peluang (opportunity), kemampuan dan keberanian untuk menanggung risiko (risk bearing) dan kemampuan untuk mengembangkan ide dan meramu sumber daya.
B.   Pendidikan Kewirausahaan di Sekolah
Pendidikan kewirausahaan bertujuan untuk membentuk manusia secara utuh (holistik), sebagai insan yang memiliki karakter, pemahaman dan ketrampilan sebagai wirausaha. Pada dasarnya, pendidikan kewirausahaan dapat diimplementasikan secara terpadu dengan kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah. Pelaksanaan pendidikan kewirausahaan dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan (konselor), peserta didik secara bersama-sama sebagai suatu  komunitas pendidikan. Pendidikan kewirausahaan diterapkan ke dalam kurikulum dengan cara mengidentifikasi jenis-jenis kegiatan di sekolah yang dapat merealisasikan pendidikan kewirausahaan dan direalisasikan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.  Dalam hal ini, program pendidikan kewirausahaan di sekolah dapat diinternalisasikan melalui berbagai aspek.
1.   Pendidikan Kewirausahaan Terintegrasi Dalam Seluruh Mata Pelajaran
Yang dimaksud dengan pendidikan kewirausahaan terintegrasi di dalam proses  pembelajaran adalah penginternalisasian nilai-nilai kewirausahaan ke dalam pembelajaran sehingga hasilnya diperolehnya kesadaran akan pentingnya nilai-nilai, terbentuknya karakter wirausaha dan pembiasaan nilai-nilai kewirausahaan ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai kewirausahaan dan menjadikannya perilaku. Langkah ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan ke dalam pembelajaran di seluruh mata pelajaran yang ada di sekolah. Langkah pengintegrasian ini bisa dilakukan pada saat menyampaikan materi, melalui metode pembelajaran maupun melalui sistem penilaian.
Dalam pengintegrasian nilai-nilai kewirausahaan ada banyak nilai yang dapat ditanamkan pada peserta didik. Apabila semua nilai-nilai kewirausahaan tersebut harus ditanamkan dengan intensitas yang sama pada semua mata pelajaran, maka penanaman nilai tersebut menjadi sangat berat. Oleh karena itu penanaman nilainilai kewirausahaan dilakukan secara bertahap dengan cara memilih sejumlah nilai pokok sebagai pangkal tolak bagi penanaman nilai-nilai lainnya. Selanjutnya nilai-nilai pokok tersebut diintegrasikan pada semua mata pelajaran. Dengan demikian setiap mata pelajaran memfokuskan pada penanaman nilai-nilai pokok tertentu yang paling dekat dengan karakteristik mata pelajaran yang bersangkutan. Nilai-nilai pokok kewirausahaan yang diintegrasikan ke semua mata pelajaran pada langkah awal ada 6 (enam)  nilai pokok yaitu: mandiri, kreatif pengambil resiko, kepemimpinan, orientasi pada tindakan dan kerja keras.
Integrasi pendidikan kewirausahaan di dalam mata pelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Pada tahap perencanaan, silabus dan RPP dirancang agar muatan maupun kegiatan pembelajarannya memfasilitasi untuk mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan. Cara menyusun silabus yang terintegrsi nilai-nilai kewirausahaan dilakukan dengan mengadaptasi silabus yang telah ada dengan menambahkan satu kolom dalam silabus untuk mewadahi nilai-nilai kewirausahaan yang akan diintegrasikan. Sedangkan cara menyususn RPP yang terintegrasi dengan nilai-nilai kewirausahaan dilakukan dengan cara mengadaptasi RPP yang sudah ada dengan menambahkan pana materi, langkah-langkah pembelajaran atau penilaian dengan nilai-nilai kewirausahaan.
Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan kewirausahaan mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai kewirausahaan sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri.Dengan prinsip ini, peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan yang terkait dengan nilai-nilai kewirausahaan.
Pengintegrasian nilai-nilai kewirausahaan dalam silabus dan RPP dapat dilakukan melalui langkah-langkah berikut:
Mengkaji SK dan KD untuk menentukan apakah nilai-nilai kewirausahaan sudah tercakup didalamnya.
Mencantumkan nilai-nilai kewirausahaan yang sudah tercantum di dalam SKdan KD kedalam silabus.
Mengembangkan langkah pembelajaran peserta didik aktif yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan integrasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku.
Memasukan langkah pembelajaran aktif yang terintegrasi nilai-nilai kewirausahaan ke dalam RPP.
2.   Pendidikan Kewirausahaan yang Terpadu Dalam Kegiatan Ekstra Kurikuler
Kegiatan Ekstra Kurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/madrasah. Visi kegiatan ekstra kurikuler adalah berkembangnya potensi, bakat dan minat secara optimal, serta tumbuhnya kemandirian dan kebahagiaan peserta didik yang berguna untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Misi ekstra kurikuler adalah (1) menyediakan sejumlah kegiatan yang dapat dipilih oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka; (2) menyelenggarakan kegiatan yang memberikan kesempatan peserta didik mengespresikan diri secara bebas melalui kegiatan mandiri dan atau kelompok.
3.  Pendidikan Kewirausahaan Melalui Pengembangan Diri
Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah/madrasah. Kegiatan pengembangan diri merupakan upaya pembentukan karakter termasuk karakter wirausaha dan kepribadian peserta didik yang dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial, kegiatan belajar, dan pengembangan karir, serta kegiatan ekstra kurikuler.
Pengembangan diri yang dilakukan dalam bentuk kegiatan pengembangan  kompetensi dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, minat, kondisi dan perkembangan peserta didik, dengan memperhatikan kondisi sekolah/madrasah.

Pengembangan diri secara khusus bertujuan menunjang pendidikan peserta didik dalam mengembangkan: bakat, minat, kreativitas, kompetensi, dan kebiasaan dalam kehidupan, kemampuan kehidupan keagamaan, kemampuan sosial, kemampuan belajar, wawasan dan perencanaan karir, kemampuan pemecahan masalah, dan kemandirian. Pengembangan diri meliputi kegiatan terprogram dan tidak terprogram. Kegiatan terprogram direncanakan secara khusus dan diikuti oleh peserta didik sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pribadinya. Kegiatan tidak terprogram dilaksanakan secara langsung oleh pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah/madrasah yang diikuti oleh semua peserta didik. Dalam program pengembangan diri, perencanaan dan pelaksanaan pendidikan kewirausahaan dapat dilakukan melalui pengintegrasian kedalam kegiatan sehari-hari sekolah misalnya kegiatan ‘business day’ (bazar, karya peserta didik, dll)
4.   Perubahan Pelaksanaan Pembelajaran Kewirausahaan dari Teori ke Praktik
Dengan cara ini, pembelajaran kewirausahaan diarahkan pada pencapaian tiga kompetansi yang meliputi penanaman karakter wirausaha, pemahaman konsep dan skill, dengan bobot yang lebih besar pada pencapaian kompetensi jiwa dan skill dibandingkan dengan pemahaman konsep. Dalam struktur kurikulum SMA, pada mata pelajaran ekonomi ada beberapa Kompetensi Dasar yang terkait langsung dengan pengembangan pendidikan kewirausahaan. Mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran yang secara langsung (eksplisit) mengenalkan nilai-nilai kewirausahaan, dan sampai taraf tertentu menjadikan peserta didik peduli dan menginternalisasi nilai-nilai tersebut. Salah satu contoh model pembelajaran kewirausahaan yang mampu menumbuhkan karakter dan perilaku wirausaha dapat dilakukan dengan cara mendirikan kantin kejujuran, dsb.
5.   Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan ke dalam Bahan/Buku Ajar
Bahan/buku ajar merupakan komponen pembelajaran yang paling berpengaruh terhadap apa yang sesungguhnya terjadi pada proses pembelajaran. Banyak guru yang mengajar dengan semata-mata mengikuti urutan penyajian dan k egiatan-kegiatan pembelajaran (task) yang telah dirancang oleh penulis buku ajar, tanpa melakukan adaptasi yang berarti. Penginternalisasian nilai-nilai kewirausahaan dapat dilakukan ke dalam bahan ajar baik dalam pemaparan materi, tugas maupun evaluasi.
6.  Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan melalui Kutur Sekolah
Budaya/kultur sekolah adalah suasana kehidupan sekolah dimana peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antar anggota kelompok masyarakat sekolah.
Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan kewirausahaan dalam budaya sekolah mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepala sekolah, guru, konselor, tenaga administrasi ketika berkomunikasi dengan peserta didik dan mengunakan fasilitas sekolah, seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin, komitmen dan budaya berwirausaha di lingkungan sekolah (seluruh warga sekolah melakukan aktivitas berwirausaha di lngkungan sekolah).
7. Pengintegrasian Pendidikan Kewirausahaan melalui Muatan Lokal
Mata pelajaran ini memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuannya yang dianggap perlu oleh daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu mata pelajaran muatan lokal harus memuat karakteristik budaya lokal, keterampilan, nilai-nilai luhur budaya setempat dan mengangkat permasalahan sosial dan lingkungan yang pada akhirnya mampu membekali peserta didik dengan keterampilan dasar (life skill) sebagai bekal dalam kehidupan sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Contoh anak yang berada di  ingkungan sekitar pantai, harus bisa menangkap potensi lokal sebagai peluang untuk mengelola menjadi produk yang memiliki nilai tambah, yang kemudian diharapkan anak mampu menjual dalam rangka untuk memperoleh pendapatan.
Integrasi pendidikan kewirausahaan di dalam mulok, hampir sama dengan integrasi pendidikan kewirausahaan terintegrasi di dalam mata pelajaran dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Pada tahap perencanaan ini, RPP dirancang agar muatan maupun kegiatan pembelajarannya MULOK memfasilitasi untuk mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan. Cara menyusun RPP MULOK yang terintegrasi dengan nilai-nilai kewirausahaan dilakukan dengan cara mengadaptasi RPP MULOK yang sudah ada dengan menambahkan pada materi, langkah-langkah pembelajaran atau penilaian dengan nilai-nilai kewirausahaan. Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan kewirausahaan mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai kewirausahaan sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip ini peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan yang terkait dengan nilai-nilai kewirausahaan.
===========
Sumber: Adaptasi dan disarikan dari:
Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas. 2010.  Pengenbangan Pendidikan Kewirausahaan; Bahan Pelatihan  Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta.

Mengapa Perlu Pendidikan Kewirausahaan?                      
Ditulis oleh Aries Musnandar          
Senin, 03 September 2012 15:23       
Kita mesti bersyukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena negeri kita Indonesia tercinta diberikanNya potensi kekayaan alam yang luar biasa. Sebagai wujud rasa syukur itu tentu kita perlu mengelola kekayaan yang dimiliki dengan sebaik-baiknya agar tidak menjadi sia-sia belaka atau tidak memiliki makna apapun bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Oleh karena itu  manusia yang mengelola kekayaan alam ini membutuhkan sejumlah kecakapan tertentu agar potensi kekayaan alam dapat dikembangkan dan bermanfaat optimal bagi kesejahteraan rakyat.
Sebagai Negara besar jumlah penduduk Indonesia nomor empat di dunia dan bahkan untuk jumlah Muslimnya nomor satu di dunia. Namun sayang, kebesaran itu masih sebatas kuantitas belum menjadi kualitas yang sesungguhnya. Masih banyak rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan, kesejahteraan masyarakat secara finansial/ekonomi masih terbatas pada kalangan tertentu, belum tersebar dengan baik. Akibatnya, pemerataan kesejahteraan belum terwujud malah tampak ketimpangan (kesenjangan) antara kaum kaya (berpunya) dan tak berpunya.
Para kaum berpunya terdiri dari mereka yang bekerja di berbagai perusahaan dan instansi pemerintahan dengan kedudukan dan gaji cukup baik. Jabatan kedudukan dan penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan membuat mereka masuk dalam kategori kaum berpunya. Sejumlah lainnya dari kalangan berpunya memiliki usaha (bisnis) dan menjalankan bisnisnya itu baik dengan cara langsung mengelola sendiri (self employed) atau dipercayakan kepada para profesional. Namun begitu, tidak semua yang memiliki bisnis sendiri tergolong kaum berpunya karena masih banyak rakyat Indonesia yang mencari nafkah sendiri dengan membuka usaha dalam skala mikro dan kecil yang penghasilannya hanya cukup menutupi kehidupan sehari-hari bahkan kerapkali masih mengalami kesulitan dalam menyekolahkan anaknya dan kebutuhan lainnya. Hasil usaha dari kalangan ini biasanya hanya cukup untuk menutupi kebutuhan primer. Oleh karena itu bagi mereka upaya pemerintah untuk memberikan kemudahan diperlukan agar bisnisnya berkembang menjadi usaha yang besar.
Di negeri ini memang cukup banyak orang yang mendirikan usaha skala mikro dan kecil, sehingga mereka bisa disebut sebagai pencipta lapangan kerja. Namun hasil usahanya seperti disebut diatas hanya cukup untuk membiayai kebutuhan hidupnya sendiri bahkan dalam banyak hal mereka masih kekurangan. Di sisi lain mereka yang menjalani pendidikan formal dibangku sekolah hingga perguruan tinggi apabila telah menyelesaikan studi atau berhenti studi biasanya  berusaha mencari lowongan pekerjaan bukan menciptakan lapangan kerja. Oleh karena itu pencari kerja di Indonesia demikian banyak, sedangkan ketersediaan pekerjaan di pasar kerja terbatas. Alhasil, pengangguran terdidik yang kalah bersaing dalam memperoleh pekerjaan menjadi bertambah bahkan membengkak jumlahnya di Indonesia. Pemerintah pun kerepotan dibuatnya. Sehingga program menciptakan wirusahawan baru dari kampus dicanangkan, diantaranya memasukkan matakuliah kewirausahaan dalam kurikulum perguruan tinggi.
Pendidikan yang diperoleh di bangku sekolah/kuliah tidak dibekali dengan latihan-latihan yang membuat para generasi muda memiliki kemampuan dan keberanian menciptakan pekerjaan bagi diri sendiri dan orang lain. Padahal, daya tampung dunia kerja baik yang dikelola swasta maupun pemerintah sangat terbatas, tidak mungkin dapat menerima semua lulusan sekolah dan perguruan tinggi di dunia kerja yang dikelola swasta dan pemerintah tersebut. Konsekuensinya, pemerintah sebagai pihak yang dipercaya dan diamanahkan mengelola negeri ini memandang perlu untuk melatih dan mendidik generasi muda untuk memiliki kemmapuan menciptakan lapangan pekerjaaan. Upaya masyarakat untuk menumbuhkembangkan program wirausaha dan bekerja mandiri didorong oleh pemerintah melalui pihak terkait. Program kewirausahaan lalu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi.
Sejarah menunjukkan bahwa sebenarnya jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, telah  banyak masyarakat yang merintis usaha dengan berdagang berbagai kebutuhan pokok dan sekunder. Mereka berdagang bahkan hingga lintas batas dengan kapal-kapal laut sederhana. Kemudian ketika terbentuk pemerintahan penjajahan, lalu juga pemerintahan sendiri, terbuka sejumlah lowongan pekerjaan bagi kalangan masyarakat tertentu. Pada saat itu bekerja sebagai pegawai alias ambtenaar demikian  populernya sehingga para orang tua pun banyak yang menginginkan anak-anaknya bekerja di pemerintahan. Pamor menjadi pedagang atau pebisnis pun di kalangan masyarakat tergerus dan tergantikan dengan "nyaman dan nikmat"nya menjadi ambtenaar.
Budaya wirausaha yang dalam sejarahnya dulu demikian akrab dengan bangsa ini dalam mencari nafkah lambat laun terdegradasi dan tergantikan dengan budaya ambtenaar, budaya kerja sebagai pegawai pemerintahan atau pengawai negeri yang mempengaruhi pandangan banyak masyarakat Indonesia dan bercokol cukup lama. Seiring dengan perkembangan dunia usaha dan industri yang dimotori pihak swasta, keinginan menjadi pegawai negeri sedikit bergeser kearah keinginan menjadi pegawai swasta di perusahaan-perusahaan besar dan asing
Kalau dulu menjadi ambtenaar alias pegawai negeri adalah tujuan mereka untuk bekerja, maka kini bekerja di perusahaan swasta terkemuka dengan gaji cukup besar juga merupakan suatu idaman bagi para lulusan khususnya lulusan perguruan tinggi (D3, S1 bahkan S2 dan S3). Ironisnya, daya tampung lapangan pekerjaan untuk lulusan berpendidikan tinggi itu pun amat terbatas, sementara jiwa entrepreneurship tidak dimiliki para lulusan berpendidikan tinggi ini. Akibatnya, tidak jarang mereka yang setelah lulus D3 tidak diterima kerja melanjutkan ke S1. Begitu pula yang S1 melanjutkan ke S2 dan seterusnya. Padahal, jenjang pendidikan yang ditempuhnya itu kurang relevan dengan apa yang terjadi di dunia kerja yang ingin dimasukinya   
Pendidikan Kewirausahaan, Jalan Pembebasan?
Sistem pendidikan yang mengunci kebebasan berpikir, kreatvitas serta inovasi para anak didik, ternyata tidak mampu mengatasi persoalan serius pengangguran. Dalam menyelematkan nasib pendidikan tersebut dan sekaligus memberi harapan pada generasi masa depan, kini pemerintah mengampanyekan pendidikan kewirausahaan.
Memasuki Tahun 2012, angka pengangguran semakin melejit. Parahnya lagi, jumlah pengangguran dengan latar belakang pendidikan tinggi pun ikut meroket, lebih dari satu juta sarjana. Namun hingga belum terdapat jamina, ke depan angka pengangguran terdidik yang menjadi kenyataan pahit dunia pendidikan itupun turun. 
Agus Wibowo, sang penulis buku,  mengupas seluk beluk pendidikan kewirausahaan dalam buku ini. Dengan mengutip pendapat Paulo Freire, tokoh pendidikan kenamaan asal Brasil, bahwa problem pendidikan mempunyai rantai masalah yang panjang, pengangguran terdidik ialah buah dari aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi pendidikan.
Persoalan utamanya ada pada ketimpangan dan tak sejalannya pendidikan dengan realitas, khususnya dunia kerja. Terlebih sempitnya lapangan pekerjaan juga berdampak pada penyerapan lulusan dari institusi pendidikan.
Para lulusan pendidikan tinggi, khususnya, seakan kebingungan menghadapi pasar kerja. Mereka tidak mempunyai bekal ilmu pengetahuan yang berguna dalam mencari pekerjaan, ujung-ujungnya mereka masuk dalam kaum pengangguran.
Selain itu, banyak perguruan tinggi yang salah langkah. Mereka tercebur dalam arena kompetisi di mana peningkatan jumlah mahasiswa harus berbarengan dengan pembukaan prodi, jurusan, maupun fakultas sebagaimana permintaan pasar.
Dengan begitu, Perguruan Tinggi mengalami disorientasi dengan menjadikan kampus sebagai pencetak robot, bukan generasi ideal yang mempunyai kemandirian, kepribadian, dan keunggulan ilmu pengetahuan.
Belum lagi soal banyaknya sarjana yang hanya mengejar cita-cita sebagai PNS. Mereka, para sarjana, mengidolakan posisi ini sebab dorongan kultural masyarakat yang masih menganggap bahwa PNS merupakan derajat tertinggi dalam status sosial. Padahal PNS itu membebankan anggaran pemerintah yang kini tengah dihantam krisis finansial global.
Ironisnya, di lain sisi, banyak individu yang samasekali tidak mengenyam bangku sekolahan justru mendapat sukses.  Billy Joel, salah seorang musisi  asal Amerika, sukses dengan tembang ciptaannya yang diminati banyak anak muda. Anehnya, Billy dengan bakat yang luar biasa dalam bermusik itu tak sedikitpun memperoleh pengajaran bermusik dari sekolah, ia hanya lulusan SMP.
Sedangkan tokoh sukses dari dalam negeri tak kalah banyaknya, salah seorang itu Andrie Wongso. Pemilik usaha kartu ucapan berisikan kata-kata mutiara ini tidak bisa menamatkan jenjang SD. Namun, di balik kegagalannya menjalani sekolah formal, Andrie bisa mengeksplorasi kemampuannya dalam menciptakan kata-kata.
Lain halnya dengan Purdi E Chandra. Menjadi mahasiswa UGM dan UNY tidak membuat dirinya  puas, pada semester IV, Purdi bertekad mencari pengetahuan sendiri dan bercita-cita membangun usaha. Dengan berbagai upaya, termasuk dengan menjual motor satu-satunya, ia mendirikan Bimbingan Belajar yang idenya diperoleh dari pengalaman pribadi. Purdi hingga kini sukses dengan Bimbel Primagama.
Pada akhirnya, Agus Wibowo menyimpulkan, terdapat kelemahan mendasar pada sistem pendidikan formal yang tengah berlangsung. Ia berpendapat, pendidikan yang ada sekarang di berbagai jenjang amat menitikberatkan pada aspek kognitif, bukan afektif maupun psikomotorik.
Demi mendorong kemandegan pendidikan formal itulah Agus menyarankan agar pendidikan kewirausahaan bisa melandasi arahan pendidikan nasional. Dengan mengembangkan dan menanamkan nilai-nilai kewirausahaan, pendidikan nasional bakal melahirkan lulusan yang senantiasa mandiri, kreatif, dan inovatif.
Sebagai proyek pembangunan sumber daya manusia, pendidikan kewirausahaan akan mengangkat derajat para siswa maupun mahasiswa. Lulusan sekolah dan Perguruan Tinggi kelak terhindar dari bahaya pengangguran, sebab mereka berani dan mampu menciptakan lapangan kerja sendiri.
Pendidikan yang mampu melahirkan wirausahawan pun kian penting, mengingat diktum ekonomi David Mc Clleland yang menyebut, bahwa kemajuan suatu negara ditentukan oleh jumlah wirausahawan, minimal sekitar 2%.
Sementara bagi Indonesia, jumlah wirausahawan jika dibandingkan dengan total jumlah penduduk hanya mencapai 0,18%. Jumlah wirausahawan ini kalah jauh ketimbang prosentase pengusaha di Singapura maupun Amerika, masing-masing mencapai 7 % dan 2,14%.
Oleh karena itu pula, menurut penulis, dorongan yang kuat dari Kemdikbud soal pendidikan kewirausahaan harus terus dilakukan. Beruntungnya, Mendiknas M Nuh pun tengah menggemborkan pula pendidikan kewirausahaan di berbagai jenjang pendidikan, termasuk perguruan tinggi.
Menurut Kemendiknas (2010;15-17), kewirausahaan adalah suatu sikap, jiwa, dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang bernilai dan berguna. Hal senada juga diungkap Pinchot, kewirausahaan adalah orang yang mempunyai kemampuan menginternalisasikan bakat, rekayasa, dan peluang yang ada.
Dukungan inipun datang dari ST. Sularto yang berpendapat bahwa kewirausahaan bisa diajarkan lewat system terstruktur, misal sebagai praksis pendidikan. Walau sekolah mungkin tidak bisa memastikan lulusannya mendapat kerja, tapi mereka bisa memastikan lulusannya mampu menciptakan pekerjaan, minimal untuk dirinya sendiri.
Penulis menyarankan agar pendidikan kewirausahaan pada pendidikan formal ini menjunjung semangat  to know, to do, dan to be entrepreneur. Untuk itu harus banyak yang diperbaiki dalam pendidikan nasional, sebab terdapat beberapa kendala di mana jiwa kewirausahaan sukar tertanam dalam diri anak didik.
Kendala tersebut di antaranya, proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran sehari-hari di dalam kelas, tampak jelas masih merupakan guru sentris, sehingga anak didik tidak maksimal mencapai aktualisasi segala potensi.
Solusi bagi kendala kurikulum, guru, dan organisasi sekolah dalam menjalankan misi mengembangkan jiwa kewirausahaan pada anak didik terletak pada peran semua pihak. Guru harus mempunyai paradigma kewirausahaan agar mampu membimbing anak didik, dan dengan terampil mengembangkan nilai-nilai kewirausahaan pada tiap mata pelajaran.
Hal yang sama juga berlaku pada perguruan tinggi. Kampus harus menjadi pusat kewirausahaan bagi masyarakat dengan lahirnya para mahasiswa yang menjadi pengusaha dengan dasar keilmuan mereka.
Untuk mencapai hal tersebut, setidaknya kampus mesti membenahi diri, terutama dalam hal kegiatan mahasiswa, orientasi kampus, serta paradigma para pengajar. Berbagai keterampilan dan potensi mahasiswa bisa digali dan dikembangkan bila terdapat suasana kondusif, system perkuliahan yang mendukung.
Ada yang tersisa dari pelaksanaan workshop “Pendidikan Karakter Bangsa” yang diadakan oleh dinas pendidikan Prop Jawa Timur teruntuk guru-guru SMP negeri swasta di hotel Lie Mas Tretes. Betapa tidak, penulis sebagai nara sumber, merasakan atmosfir antusiasme peserta begitu kuat, tapi keterbatasan waktu jugalah yang membuat workshop belum maksimal, dimana. salah satu materi workshop adalah “Pendidikan Kewirausahaan”
Seperti kita ketahui bersama, pendidikan kewirausahaan di Indonesia masih kurang memperoleh perhatian yang cukup memadai, baik oleh dunia pendidikan maupun masyarakat. Banyak guru yang kurang memperhatikan penumbuhan karakter dan perilaku wirausaha siswa, baik di sekolah-sekolah kejuruan, maupun di pendidikan profesional. Orientasi mereka, pada umumnya hanya pada menyiapkan tenaga kerja.
Berkaca dari itu, perlu dicari penyelesaiannya, bagaimana pendidikan dapat berperan untuk mengubah manusia menjadi manusia yang memiliki karakter dan atau perilaku wirausaha. Untuk menjawab hal tersebut “Pendidikan Kewirausahaan” adalah jawaban realistis yang perlu dikembangkan kepada siswa agar memiliki karakter dan atau perilaku wirausaha yang tangguh, sehingga pada gilirannya akan dapat menjadi manusia yang jika bekerja di sebuah lembaga akan menjadi tenaga kerja yang potensial dan mandiri, jika tidak, mereka akan menjadi manusia yang mampu menciptakan lapangan perkerjaan minimal bagi dirinya sendiri.
Menyikapi pendidikan kewirausahaan, sesungguhnya didalam kurikulum (KTSP), terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, pendidikan kewirausahaan sudah terakomodasi dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari. Problemnya, pendidikan kewirausahaan di sekolah selama ini baru menyentuh pada level pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum menyentuh internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Kita semua tahu, tantangan yang terjadi pada era kesejagadan hari ini adalah semakin menipisnya kualitas kemandirian manusia Indonesia. Krisis yang multidimensi mengakibatkan budaya bangsa semakin memudar, sehingga terjadilah degradasi moral spiritual, semangat berusaha dan bekerja yang semakin melemah, kreativitas yang semakin mengerdil dan menjurus ke arah yang negatif. Melalui tulisan ini, penulis mengajak kepada semua fihak, tidak hanya guru, memberikan pendidikan kewirausahaan demi pengembangan individu/siswa yang memiliki “self empowering” untuk lebih kreatif dan inovatif.
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

Postingan Terpopuler

×

Powered By Facebook and Get This Widget

Bagaimana pendapat mu tentang blog ini ?

Powered by Blogger.
 
Support : Aritmatika '10 | Len Phi | Indonesia Belajar
Copyright © 2013. Gema Private Solution - All Rights Reserved
Published by Dayat Super