Hadi Susanto telah berhasil menikmati jerih payahnya. Paling tidak
itulah yang dapat menggambarkan kondisinya pada waktu itu. setelah
selesai dari ITB, ia berkelana ke Belanda, tepatnya di Universiteit
Twente, Belanda. Di kampus tersebut, ia belajar hingga meraih Ph.D.
Kesempatan tidak akan datang dua kali. Sebuah motto yang selalu
melekat pada diri Hadi Susanto. Ia manfaatkan secara maksimal kesempatan
kuliah di Universiteit Twente. Setelah tiga tahun menyelesaikan kuliah
di Universiteit Twente, ia mengambil program Post Doctoral di University
of Massachusetts (UMass), Amherst, Amerika Serikat. Di UMass, ia
belajar dan menjadi visiting assistant professorship selama tiga tahun.
Tugasnya adalah mengajar dua kelas persemester. Belum genap berumur tiga
puluh tahun, Hadi Susanto sudah meraih gelar Ph.D
Setelah menyelesaikan Post Doc, Hadi Susanto mengirimkan lamaran ke
berbagai universitas di eropa. Dan akhirnya, ia diterima menjadi dosen
di University of Nottingham, Inggris hingga sekarang. Untuk bisa menjadi
dosen tetap di sana, Ia hanya membutuhkan waktu dua tahun. Padahal
rata-rata untuk bisa menjadi dosen tetap membutuhkan waktu sekitar empat
tahun setelah lulus Ph.D
Di Universitas Nottingham, selain mengajar, ia banyak berkutat dengan
pelbagai riset, dan membimbing mahasiswa S1 hingga S3. Spesialisasi
matematika yang ia tekuni hingga sekarang adalah Applied Mathematics
dengan penekanan pada Dynamical systems dan Analysis of Differential
Equations. Bahasa sederhananya, Matematika terapan dengan menggunakan
persamaan diferensial. Ketika disinggung rahasia sukses yang telah ia
gapai selama ini, Hadi hanya menjawab sederhana, “Kemauan keras dan
kerja keras. Bagi saya, kepandaian bersifat mendukung, bukan yang utama
dan doa dan dukungan orang tua, terutama ibu.”
Meski sehari-hari ia berkutat dengan angka-angka, Hadi Susanto masih
menyempatkan untuk membaca novel atau cerita-cerita nonfiksi. Ia
mengagumi beberapa sastrawan lokal, seperti, Umar Kayam, Gus Mus (KH.
Musthofa Bisri), Sapardi. Hadi menyukai sastra sejak kecil. Tepatnya,
ketika pamanya suatu hari memberi sebuah buku harian. Di buku itulah ia
pertama kali menulis puisi. “sampai sekarang masih ada itu bukunya, dan
saya suka tertawa sendiri kalo membaca lagi.” kata Hadi.
Melihat Hadi Susanto teringat Sofia Kovalevskaya. Sofia Kovalevskaya
adalah seorang professor Matematika Universitas Stockholm, Swedia. Ia
merupakan penyumbang teori persamaan diferensial. Meski sempat terbuang
dari negeri asalnya, Rusia, Sofia Kovalevskaya akhirnya diterima sebagai
anggota Akademi Ilmiah Rusia. Keduanya (Hadi Susanto dan Sofia
Kovalevskaya) mempunyai kesamaan. Sama-sama seorang Matematikawan
sekaligus pencinta sastra. “It is impossible to be a mathematician
without being a poet in soul.”, ucap Sofia.
0 comments:
Post a Comment